BERBAGI
KEBAHAGIAAN
Liburan kenaikan kelas telah usai. Sekarang adalah waktu
untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan dia hadapi besok. Entah dia akan
masuk di kelas mana dan bertemu dengan siapa saja. Nina sedikit takut nantinya
dia malah tidak mempunyai teman di kelas barunya itu karena tidak bisa
menyesuaikan diri. “Yah, semoga tidak terjadi sesuatu yang menyebalkan
nantinya, ya Allah” harap Nina. Ya, namanya Nina. Anak yang terlahir dari
keluarga yang kuat agamanya, karena ayahnya adalah seorang uztad terkenal di
kotanya. Nina termasuk anak yang nggak gampang bergaul dengan orang yang baru
dia kenal, karena sifatnya yang cuek, pemalu, dan tertutup. Terkadang dia sebal
dengan sifat ayahnya yang selalu melarangnya keluar hanya untuk bermain bersama
teman-temannya dan menyuruhnya di rumah saja sambil membaca buku atau membaja
Al-Qur’an. Nina termasuk cewek yang alim. Keluar selalu memakai jilbab, dan
menjaga jarak dengan teman laki-laki yang sedang berusaha mendekatinya.
Bukannya dia sombong,namun memang dia sedang tidak ingin pacaran terlebih
dahulu dan dilarang oleh kedua orang tuanya.
Pagi ini, Nina bangun lebih awal untuk sholat subuh dan
mempersipakan segala keperluannya. Karena baru pertama kali masuk kelas 11,
maka dia hanya membawa buku kosong, peralatan shalat, dan alat tulis juga
beberapa lembar uang 5000 untuk ongkos naik
angkot. Dia memang dari dulu selalau pulang menaiki angkutan umum.
Padahal ayahnya sudah menyiapkan mobil dan satu supir pribadi untuk mengantar
jemput Nina supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun Nina
menolak dan memilih naik angkot saja supaya bisa pulang bareng bersama
teman-temannya. Dia tidak mau terlihat berlebihan dan dia lebih suka tampil
sesederhana mungkin. Pagi ini dia terpaksa berangkat diantar sang ayah karena
ayahnya sedang libur dan ingin sesekali mengantar sekolah anak semata wayangnya
itu. Mobil Honda Jazz melaju di keramaian kota Surabaya dan menuju SMA 13
Surabaya.
“Hati-hati ya nak! Jangan pulang terlambat. Kalau ada
apa-apa telepon ayah ya! Nanti kamu ayah jemput!” ujar ayahnya. “Ayah nggak
usah repot-repot jemput aku, aku bisa pulang sendiri kok, kan banyak temennya
yah. Iya, yah aku bakalan hati-hati. Masuk dulu ya yah! Assalamu’alaikum!”
salam Nina sambil mencium telapak tangan ayahnya dan keluar dari mobil, lalu
berjalan menuju gerbang. Dia mulai mencari namanya di sekitar kelas-kelas 11
dan ternyata dia masuk di kelas 11 IPA 1. Dia masuk ke kelas itu dan
mencari-cari bangku yang kosong dan hanya ada satu bangku yang kosong pada saat
itu. Di samping seorang anak perempuan yang dilihat dari wajahnya dia keturunan
Tionghoa. “Kelihatannya dia beda agama deh sama aku” pikir Nina pada saat itu.
“Boleh aku duduk disini?” tanya Nina sopan. Cewek itu melihatnya dan tersenyum
lalu menganggukkan kepalanya. “Boleh, duduk saja. Nggak ada yang nempatin
kok!”. “Oke, maksih ya. Boleh aku yau siapa nama kamu?”. “Namaku Yessy! Kamu?”
tanyanya balik. “Aku Nina. Kita bisa berteman kan? Walaupun agama kita
berbeda.” Tanya Nina. “Boleh, kok. Santai aja lagi. Aku kan nggak pilih-pilih.
Toh, apa salahnya kita punya temen yang beda ras dan agama? Iya nggak?”
jawabnya. “Heem, aku setuju banget sama kamu!”. Usai perkenalan, bel mulai
berbunyi dan murid-murid mulai memasuki
kelasnya masing-masing. Nina mulai mempunyai teman yang lumayan banyak dan
rata-rata mereka berbeda agama dengan dia. Itu malah semakin membuatnya senang
karena mempunyai teman yang beda agaa dengan dia. Teman barunya adalah Maria
dan Bella.
“Nin, ke kantin yuk! Laper nih belum makan aku dari tadi
pagi!” ajak si Bella. “Aduh, maaf ya temen-temen aku lagi mau nyaur hutangku
biar lunas” tolak Nina. “Lho, kamu ada hutang sama siapa? Yauda kita bayarin
aja dulu, gapapa kok” sahut Yessy. “hahahah! Bukan hutang itu maksudku. Tapi
hutang puasa yang bulan romadhon kemarin. Kalian jajan aja, aku disini sambil
baca novel”. “Yah, oke deh! Maaf loh kita nggak tau kalau kamu puasa! Duluan ya
Nin!” pamit Maria.
“Sendirian aja nih?” tanya seorang anak laki-laki. Aku
mendongakkan kepalaku untuk melihat siapa dia. Ternyata dia adalah Fandi, anak
basket. Dia berasal dari Bali. Baru saja semester kemarin dia datang ke sekolah
Nina dan nggak di sangka-sangka dia sekelas dengan Fandi. “Oh, hai juga Fan!”
sapa Nina sambil tersenyum. Fandi lalu dududk di sampingnya. “Lagi baca apa nih
kok serius banget?” tanyanya. “Aku lagi baca novel yang aku pinjam dari
perpustakaan” jawab Nina. “Oh, kamu agama Islam ya?”. “Iya, kamu?”. “Aku Hindu,
kan aku dari Bali. Emang wajahku nggak kelihatan kayak orang Bali ya?”.
“Nggak!hahahha”. “ah, bercandamu keterlaluan. Aku boleh jadi temenmu kan?”
tanyanya. “Boleh, kok.”
Ketika wali kelas Nina datang untuk memberi pengumuman,
Nina dan anak-anak kelasnya disuruh membuat kelompok berjumlah 8 orang. 4
laki-laki dan 4 perempuan. Dan kelompoknya adalah dia sendiri, Yessy, Bella,
Maria, Fandi, Yoseph, Rafi, dan Ryan. Mereka disuruh melakukan penarikan uang
infaq di kelas 12 dan memberikan uang infaq tersebut kepada orang yang
membutuhkan. Lalu sebagai gukti, mereka harus merekam seluruh kegiatan yang
mereka lakukan. “Wah, seru banget nih jadinya. Udah lama aku pengen kayak
gini!” ungkap Nina. Lalu disambut anggukan kepala dari teman-teman yang
lainnya. Ini bakal jadi kegiatan yang seru bagi Nina dan teman-temannya.
Kelompoknya memutuskan untuk memberikan sumbangan tersebut kepada para
gelandangan, pemulung, dan anak jalanan. “Kita membutuhkan banyak waktu untuk
melakukan semua ini. Gimana kalau kita lakukan ketika sekolah usai?” usul Ryan.
“Waduh,gimana ya? Masalahnya orang tuaku ketat banget, aku jarang dibolehin
keluar rumah!” jawab Nina. “Yah, himana ya! Sebelum kita berangkat kita bantuin
kamu ijin ke orang tuamu deh!” usul Fandi. “Bagus juga, tuh sekalian main-main.
Aku kan pengen tau dimana rumahmu” kata Yessy. Akhirnya mereka sepakat untuk
mengerjakannya ketika sekolah usai dan hari libur dengan ijin ke orang tuanya
Nina dulu.
Penggalangan dana ke kelas-kelas di atas mereka sangat
sulit karena rata-rata mereka tidak mau menyumbang. Alsannya ada saja. Padahal
sekolah mereka itu termasuk sekolah yang elite. Hanya orang yang merasa dirinya
mampu membayar saja yangmenyekolahkan anaknya di sana. Namun ada saja alasan
mereka untuk tidak mau membayar terutama yang laki-laki. Nina dkk akhirnya
berusaha untuk menjelaskan dan dengan kerja keras mereka akhirnya penggalangan
dana selesai dilakukan. Walaupun hasilnya tidak sesuai dengan apa yang mereka
harapkan, namun mereka cukup puas dengan hasil kerja keras mereka “mengemis” ke
kakak kelasnya. “Kapan kita kasih uang hasil penggalangan dana hari ini?” tanya
Maria. “Aku juga bingung. Apa dimulai besok saja ya? Soalnya kan hari ini kita
nggak bawa kamera” jawab Rafi. “Eh, Nina. Di rumahmu ada kamera nggak? Kalau
ada kita pinjem buat kegiatan ini boleh, kan?” tanya Ryan. “Boleh kok, tapi
maaf aku hari ini gak bisa ikut kalian buat ngasih hasil penggalangan dana tadi
ke anak-anak jalanan soalnya hari ini di rumahku ada pengajian, dan aku harus
bantu-bantu ibukubuat nyiapin makanan sama bersih-bersih rumah” jawabnya. “Yah,
kalu gitu kita undur aja ya, pas kita semua bener-bener gak sibuk. Terus kapan
kita melakukan penggalangan dana lagi?” kata si Fandi. “Dua hari sekali aja
yah”. Akhirnya mereka semua setuju bahwa kegiatan memberikan sumbangan mereka
lakukan pada saat mereka semua sedang tidak sibuk atau tidak memiliki kegiatan.
“Ayah, ibu, aku boleh nggak besok pulang telat soalnya
ada kegiatan sekolah” ijin Nina kepada kedua orang tuanya. “Memangnya ada
kegiatan apa, nak? Kalau nggak penting lebih baik nggak usah saja ya, ayah
takut kamu kenapa-kenapa” jawab ayah. “Yah, aku sama temen-temenku kok yah.
Lagian menurutku kegiatan ini sungguh mulia karena kita mau memberikan hasil
dari penggalangan dana yang kita lakukan ke orang-orang yang tidak mampu,
mereka-mereka yang biasanya tinnggal di pingggir jalan, dan anak-anak jalanan.
Boleh ya yah?” harap Nina. “Tapi teman-teman kamu baik semua kan? Ibu takut
mereka memberikan dampak yang negative ke kamu, nak!” cemas ibunya yang sedari
tadi mendengarkan. “Insya’Allah ibu, aku yakin mereka nggak akan sejahat itu
kok bu. Tenang saja, bu besok teman-temanku akan datang ke rumah dahulu untuk
meminta ijin ke ibu sama ayah” jawab
Nina. “Yasudah nak kalau begitu. Ayo kita sholat maghrib dulu lalu setelah itu
kkamu bantu-bantu ibu ya nak!” pinta ibunya disusul dengan anggukan anak semata
wayangnya.
Hari ini sesuai dengan perjanjian mereka, mereka akan
memberikan uang hasil penggalangan dana yang mereka lakukan kemarin. Dan
sebelum mereka melakukan itu semua, mereka akan berkunjung dulu ke rumah Nina
yang letaknya paling dekat dengan sekolahan diantara rumah mereka semua.
Setelah sekolah usai, mereka berkunjung ke rumah Nina. Yang perempuan menaiki
mobil Maria, sementara yang laki-laki menaiki mobil Fandi.
“Assalamu’alaikum ibu, ayah!” salam Nina. “Wa’alaikum
salam” jawab orang yang ada di dalam rumahnya. Ibunya pun keluar dari balik
pintu rumahnya. “Siang, tante!” sapa teman-temannya. Mereka pun mencium tanagn
ibunya Nina. “Ibu, ayah dimana?” tanya Nina. “Ayahmu tiba-tiba pergi tadi. Ada
urusan penting katanya. Ayo, kamu perkenalin temanmu satu persatu”. Nina pun
menyebutkan nama temannya satu persatu serta agama mereka masing-mmasing. “Oh,
jadi kalian ini agamanya berbeda-beda, ya tapi masih bisa akur” puji ibu Nina.
“hehehe! Iya tante, kita kan nggak pilih-pilih teman” jawab mereka kompak.
“Yasudah, ayo masuk dulu. Panas kalau di luar. Kalian sudah makan?”. “Sudah
tante”. Nina pun mempersilahkan teman-temannya masuk dan ijin ke mereka untuk
sholat dhuhur terlebih dahulu. Lalu setelah mereka semua siap, mereka pamit ke
ibu Nina dan berangkat.
Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah pemukiman liar
yang terletak di samping rel kereta api. Mereka dibagi menjadi 4 kelompok dan
memisahkan diri untuk melakukan tugas masing-masing yaitu membagikan hasil penggalangan
dana yang mereka lakukan. Tidak hanya berupa uang karensa setengah dari uang
hasil penggalangan itu dibelikan sembako dan lain-lain. Pada saat itu Nina
kebagian tugas bersama Fandi. Fandi yang mendokumentasikan kegiatan mereka
berdua. Nina sempat menangis terharu ketika melihat seorang anak kecil yang
hanya tinggal bersama neneknya yang sedang sakit-sakitan. Anak itu berusaha
menghidupi dirinya berseta neneknya dan membelikan obat untuk neneknya. Dia
menjadi pengamen di jalanan, kadang di lampu merah. Tidak banyak hasil yang dia
dapatkan karena terkadang ada saja orang jahat yang selalu meminta uang hasil
mengamennya. Dia sangat ingin bersekolah namun itu tidak akan mungkin karena
kondisinya sekarang. “Dimana orang tuamu? Mana keluargamu?” tanya Nina berusaha
untuk menahan air matanya yang terus keluar. “Ibu dan ayah sudah lama bercerai.
Ayah ninggalin aku sama ibu dan nenek terus kita jadi gelandangan kayak
sekarang. Ibu juga udah meninggal” jawab anak itu. Tatapannya ke Nina semakin
membuat Nina tidak bisa menahan air matanya. Dia lalu keluar dari rumah yang
terbuat dari kardus itu dan meninggalkan Fandi sendirian di dalam. Fandi yang
bingung langsung ijin keluar sebentar untuk menghampiri Nina. “Sudah, Nin.
Jangan nangis lagi. Aku tahu gimana perasaanmu. Aku juga sedih ndengernya. Tapi
kita harus cepat-cepat melakukan aktivitas ini sebelum malam” hibur Fandi
sambil memegang bahu Nina dan menyodorkan selembar tisu. “Makasih,Fan. Iya, aku
bakal berhenti nangis. Aku pamit dulu ke anak itu dan neneknya ya. Kamu cari
lokasi yang selanjutnya” jawab Nina dan beranjak masuk ke dalam rumah kumuh
itu. Selang beberapa waktu Nina keluar dengan muka yang memerah dan air mata
yang membasahi seluruh wajahnya. “ckckck! Dasar anak cengeng!” ujar Fandi dalam
hati sambil tersenyum ke arah Nina. Kegiatan mereka selesai sebelum adzan
maghrib berkumandang.
“Nina, kamu nggak sholat? Habis ini maghrib lho!” kata
Yessy. “Ayo, kita cari mushola saja di sekitar sini soalnya kalo sholat di
rumahmu waktunya ntar nggak nyampek. Aku pengen sholat jamaah nih soalnya!”
ajak Rafi yang sedari kemarin diam melulu. Rafi salah satu tipe cowok yang cuek,
pendiam, dan agak tertutup walaupun sebenarnya dia salah satu anak keren di
kelasnya. Beda sama Fandi dan Ryan yang peduli dan gampang bergaul. Mereka
mencari mushola yang ada di sekitar sana dan menemukannya. Nina, Rafi, dan Ryan
bergegas masuk dan mengambil air wudhu sementara yang lainnya duduk-duduk di
telatar masjid sambil merekam kegiatan orang pinggiran ketika mau melaksanakan
sholat maghrib. “Coba deh kalian lihat. Kenapa ya penampilan mereka berbeda
dari yang sebelumnya? Terlihat lebih rapi dan bersih!” tanya Maria. “Mereka
sama kayak kita. Ketika mau menghadap tuhan, mereka pasti berpenampilan yang
sebaik mungkin, serapi mungkun karena akan menghadap kepada tuhan mereka.
Intinya sama lah kayak kita-kita” jawab Yoseph. Setelah menunggu, akhirnya
mereka melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
“Nina, kenapa kamu pulang setelah maghrib? Bukannya kamu
janji ke ibu pulang sebelum maghrib?” tanya ibunya setelah membukakan pintu
untuk Nina. Nina mencium tangan ibunya lalu berkata “Maafkan Nina, ibu. Nina
tadi sholat dulu di mushola dekat tempat yang Nina kunjungi. Lagian kalau
sholat di rumah takut waktunya gak cukup sama kecapekan. Ibu, Nina seneng
banget hari ini”. Akhirnya Nina menceritakan kejadian yang terjadi seharian
ini. “Yasudah, kalau gitu kamu istirahat sana. Besok kamu ada kegiatan? Kalau
ada kamu cepet shalat isya’, makan, terus tidur biar siap besoknya”. “Ada bu
tapi agak siang soalnya anak-anak pada ke gereja. Besok kita ntar ketemu di
taman dekat sekolah” jawab Nina. Dia benar-benar tidak sabar untuk menjalani
kegiatan yang akan dia lakukan keesokan harinya.
Pagi ini, Nina akan berangkat ke taman di dekat
sekolahnya. Sebenarnya dia ingin berangkat sendiri, namun ayahnya melarang dan
berniat untuk mengantar Nina sekaligus bertemu dengan teman-teman Nina. Setelah
bersiap-siap, Nina langsung menaiki mobil ayahnya dan melaju di tengah
keramaian kota Surabaya di pagi itu. Sesampainya di sana, Nina langsung
menghampiri teman-temannya sekaligus memperkenalkan mereka pada ayah Nina.
Ayahnya sedikit kaget mengetahui mereka semua berbeda agama namun bisa
bersahabat begitu dekat dan kompaknya. Namun Nina bersyukur karena ayahnya
tidak melarang dia untuk bersahabat dengan teman-teman yang berbeda dengannya
tersebut.
“Hari ini kita akan mengunjungi anak-anak jalanan. So,
hati-hati ya!” kata si Fandi mengagetkan mereka semua. “Maksud kamu apaan sih
Fan? Jangan nakut-nakutin gitu, ah” potong si Maria. Maria itu tipe cewek yang
manja, dan nggak pernah turun ke jalanan. Jadi, bukan nggak mungkin ya dia
bakalan ngeluh sepanjang kegiatan yang mereka lakukan. Mereka memarkir mobil
mereka di pinggir jalan lalu mengambil barang-barang yang mereka butuhkan.
Mereka mulai berpencar dan mencari anak-anak jalanan yang sering mengamen di
jalan tersebut, sementara beberapa dari kelompok Nina masuk ke sebuah pasar.
Nina termasuk dalam kelompok yangturun di jalanan. Mereka berjalan menuju lampu
merah di perempatan jalan tersebut. Nina mencari anak-anak yang mulai mengamen
di jalan yang pas waktu lampu merah, dan Fandi sibuk dengan kameranya. Dia
sibuk mengambil gambar. Satu persatu anak kecil mereka dekati sebelum lampu
merah berganti menjadi lampu hijau. Mereka duduk di trotoar jalan dan sedikit
ketakutan ketika didekati oleh Nina dan Fandi. “Tenang, dek. Kita nggak bakal
nyakitin kalian kok!” bujuk Nina dan akhirnya mereka kembali duduk. Nina duduk
di depan anak-anak jalana tersebut. Kalau di lihat-lihat mereka masih tergolong
anak kecil, umrnya sekitar 6-9 tahunan lah. Pakaian mereka sungguh amat sangat
kotor, dan badan mereka sepeti tidak terawat.
“Kakak mau kasih sesuatu buat kalian” kata
Nina mengawali pembicaraan. Nina memberikan 3 bungkus nasi ke mereka disesuaikan
dengan jumlah anak yang ada saat itu. Mereka sedikit ragu untuk menerimanya.
Fandi yang sedang merekam kegiatan mereka ikut angkat bicara “Ambil saja dek,
kita ikhlas kok ngasihnya. Kita nggak bakal macem-macem ke kalian. Masa kakak
yang ganteng dan cantik ini mau berbuat jahat ke kalian?”. Nina pun tertawa
mendengarnya dan mencubit si Fandi sambil menganggukkan kepala ke anak-anak
itu. “Dasar si Fandi. Membujuk sih oke, tapi nggak kayak gitu juga kali” batin
si Nina. Akhirnya ketiga anak itu menerima makanan yang dikasih Nina dengan
senang hati dan memakannya dengan lahap. “Dek kakak boleh tanya sesuatu?” tanya
Nina dengan lembut. “Tanya aja kak” jawab salah satu dari mereka. Nina tanyakan
satu-satu nama mereka dan melanjutkan pertanyaan. “Kalian punya keluarga? Ayah
dan ibu? Saudara?”. “Aku udah lama di tinggal ayah sama ibu mati, kak” jawab
anak yang paling kecil. “Ayahku nggk tau dimana, ibu masih ada” jawab anak
laki-laki yang kira-kira umurnya paling tua diantara mereka. “Aku dibuang sama
orang tuaku, kak! Huhuhu....” jawab anak yang terakhir sambil nangis
sesenggukan. Nina nggak bisa menahan air matanya untuk tidak menetes. Tanpa
rasa jijik atau apapun, Nina langsung memeluk ketiga anak itu. “Kasihan kalian,
dek. Nggak seharusnya kalian tinggal di jalanan” kata Nina. Fandi langsung
menepuk pundaknya dan memberi dia tisu untuk kedua kalinya. Nina langsung
melepaskan pelukannya dan menerima tisu yang dikasih Fandi lalu menghapus air
matanya. “Kalian udah lama ngamen di jalan?” tanya Fandi. “Iya,kak”. “Sekolah?”.
“Nggak, kak. Nggak ada uang buat bayar sekolah. Tapi pengen banget, kak. Kapan
ya bisa sekolah kayak temen-temen yang lain?” jawab salah satu anak itu sambil
matanya menerawang. “Pasti bisa kok dek. Semangat yah. Kakak ada sejumlah uang
untuk kamu. Bisa buat jajan sama beli makan” kata Fandi sambil meletakkan
kameranya dan memberikan sejumlah uang ke anak-anak itu sama rata. Raut wajah
yang semula sedih terlihat ceria tanpa beban. “Makasih kakak” jawab mereka
kompak. “Kalian mau ngamen lagi? Kakak boleh ikut gak? Kan lumayan tuh buat
nambah penghasilan” usul Fandi yang membuat Nina terkaget-kaget. Fandi
memandangnya seakan-akan dia berkata “Gapapa kan Nin?”. Nina cuman bisa nurut
aja. Sebenarnya dia takut karena ini jalan besar dan berbahaya.
Tapi nggak di sangka-sangka semula dia memang takut
mengikuti langkah Fandi dan anak-anak itu. Namun setelah melihat semangat
mereka dan kebahagiaan yang terpancar di wajah mereka ketika Fandi ikut-ikut
nyanyi di jalan, bener-bener membuatnya terharu dan memberanikan diri untuk
ikut ngamen. Senang rasanya melihat mereka tertawa bahagia. Mungkin selama ini
mereka nggak pernah merasa sebahagia ini. Menyanyi bersama, tertawa bersama,
adalah suatu kenangan yang tak akan pernah dia lupakan. Tak lupa Fandi merekam
kegiatan mereka.
“Adek-adekku, kelihatannya kakak harus pergi soalnya udah
sore. Besok-besok kalau ada waktu kakak pasti ke sini kok” pamit Nina ke
anak-anak itu. “Janiji ya kakak ga bakal ngelupain kita?” kata seorang dari
mereka. Nina jadi sedih mendengarnya. “Iya, pasti dek kita nggak bakalan
ngelupain kamu. Sini kakak peluk” kata Fandi sambil meluk mereka bertiga,
bergantian dengan Nina. Rasanya berat untuk meningalkan anak-anak yang luar
biasa ini. Kecil-kecil sudah harus mencari makan sendiri, tinggal di luar yang
nggak aman dan nggak bagus buat kesehatan mereka. Akhirnya dengan berat hati
Fandi dan Nina pergi ke tempat mereka memarkirkan mobil dan pulang. Banyak
hikmah yang bisa Nina ambil di hari ini dan hari yamng sebelumnya. Ada baiknya
kita membatu mereka-mereka yang tidak mampu, berbagi kebahagiaan dengan mereka,
toh mereka juga manusia sama seperti kita, malah lebih kuat daripada kita,
sayang mereka kurang beruntung. Banyak alasan yang membuat mereka terpaksa
hidup merana di jalanan, di rumah-rumah yang tidak layak pakai. Bersyukurlah
karena kita diberi sesuatu yang sesungguhnya lebih dari cukup, namun tidak
pernah ada rasa puas dalam diri kita dan selalu merasa kurang. Kebahagiaanmu,
adalah kebahagiaanku. J
THE
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar