welcome to Rafika's world :). semua yang ada disini asli berasal dari akal fikiran saya :P #alay. semoga dapat menghibur ^^

Minggu, 05 Mei 2013


BERBAGI KEBAHAGIAAN
            Liburan kenaikan kelas telah usai. Sekarang adalah waktu untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan dia hadapi besok. Entah dia akan masuk di kelas mana dan bertemu dengan siapa saja. Nina sedikit takut nantinya dia malah tidak mempunyai teman di kelas barunya itu karena tidak bisa menyesuaikan diri. “Yah, semoga tidak terjadi sesuatu yang menyebalkan nantinya, ya Allah” harap Nina. Ya, namanya Nina. Anak yang terlahir dari keluarga yang kuat agamanya, karena ayahnya adalah seorang uztad terkenal di kotanya. Nina termasuk anak yang nggak gampang bergaul dengan orang yang baru dia kenal, karena sifatnya yang cuek, pemalu, dan tertutup. Terkadang dia sebal dengan sifat ayahnya yang selalu melarangnya keluar hanya untuk bermain bersama teman-temannya dan menyuruhnya di rumah saja sambil membaca buku atau membaja Al-Qur’an. Nina termasuk cewek yang alim. Keluar selalu memakai jilbab, dan menjaga jarak dengan teman laki-laki yang sedang berusaha mendekatinya. Bukannya dia sombong,namun memang dia sedang tidak ingin pacaran terlebih dahulu dan dilarang oleh kedua orang tuanya.
            Pagi ini, Nina bangun lebih awal untuk sholat subuh dan mempersipakan segala keperluannya. Karena baru pertama kali masuk kelas 11, maka dia hanya membawa buku kosong, peralatan shalat, dan alat tulis juga beberapa lembar uang 5000 untuk ongkos naik  angkot. Dia memang dari dulu selalau pulang menaiki angkutan umum. Padahal ayahnya sudah menyiapkan mobil dan satu supir pribadi untuk mengantar jemput Nina supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun Nina menolak dan memilih naik angkot saja supaya bisa pulang bareng bersama teman-temannya. Dia tidak mau terlihat berlebihan dan dia lebih suka tampil sesederhana mungkin. Pagi ini dia terpaksa berangkat diantar sang ayah karena ayahnya sedang libur dan ingin sesekali mengantar sekolah anak semata wayangnya itu. Mobil Honda Jazz melaju di keramaian kota Surabaya dan menuju SMA 13 Surabaya.
            “Hati-hati ya nak! Jangan pulang terlambat. Kalau ada apa-apa telepon ayah ya! Nanti kamu ayah jemput!” ujar ayahnya. “Ayah nggak usah repot-repot jemput aku, aku bisa pulang sendiri kok, kan banyak temennya yah. Iya, yah aku bakalan hati-hati. Masuk dulu ya yah! Assalamu’alaikum!” salam Nina sambil mencium telapak tangan ayahnya dan keluar dari mobil, lalu berjalan menuju gerbang. Dia mulai mencari namanya di sekitar kelas-kelas 11 dan ternyata dia masuk di kelas 11 IPA 1. Dia masuk ke kelas itu dan mencari-cari bangku yang kosong dan hanya ada satu bangku yang kosong pada saat itu. Di samping seorang anak perempuan yang dilihat dari wajahnya dia keturunan Tionghoa. “Kelihatannya dia beda agama deh sama aku” pikir Nina pada saat itu. “Boleh aku duduk disini?” tanya Nina sopan. Cewek itu melihatnya dan tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. “Boleh, duduk saja. Nggak ada yang nempatin kok!”. “Oke, maksih ya. Boleh aku yau siapa nama kamu?”. “Namaku Yessy! Kamu?” tanyanya balik. “Aku Nina. Kita bisa berteman kan? Walaupun agama kita berbeda.” Tanya Nina. “Boleh, kok. Santai aja lagi. Aku kan nggak pilih-pilih. Toh, apa salahnya kita punya temen yang beda ras dan agama? Iya nggak?” jawabnya. “Heem, aku setuju banget sama kamu!”. Usai perkenalan, bel mulai berbunyi dan  murid-murid mulai memasuki kelasnya masing-masing. Nina mulai mempunyai teman yang lumayan banyak dan rata-rata mereka berbeda agama dengan dia. Itu malah semakin membuatnya senang karena mempunyai teman yang beda agaa dengan dia. Teman barunya adalah Maria dan Bella.
            “Nin, ke kantin yuk! Laper nih belum makan aku dari tadi pagi!” ajak si Bella. “Aduh, maaf ya temen-temen aku lagi mau nyaur hutangku biar lunas” tolak Nina. “Lho, kamu ada hutang sama siapa? Yauda kita bayarin aja dulu, gapapa kok” sahut Yessy. “hahahah! Bukan hutang itu maksudku. Tapi hutang puasa yang bulan romadhon kemarin. Kalian jajan aja, aku disini sambil baca novel”. “Yah, oke deh! Maaf loh kita nggak tau kalau kamu puasa! Duluan ya Nin!” pamit Maria.
            “Sendirian aja nih?” tanya seorang anak laki-laki. Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat siapa dia. Ternyata dia adalah Fandi, anak basket. Dia berasal dari Bali. Baru saja semester kemarin dia datang ke sekolah Nina dan nggak di sangka-sangka dia sekelas dengan Fandi. “Oh, hai juga Fan!” sapa Nina sambil tersenyum. Fandi lalu dududk di sampingnya. “Lagi baca apa nih kok serius banget?” tanyanya. “Aku lagi baca novel yang aku pinjam dari perpustakaan” jawab Nina. “Oh, kamu agama Islam ya?”. “Iya, kamu?”. “Aku Hindu, kan aku dari Bali. Emang wajahku nggak kelihatan kayak orang Bali ya?”. “Nggak!hahahha”. “ah, bercandamu keterlaluan. Aku boleh jadi temenmu kan?” tanyanya. “Boleh, kok.”
            Ketika wali kelas Nina datang untuk memberi pengumuman, Nina dan anak-anak kelasnya disuruh membuat kelompok berjumlah 8 orang. 4 laki-laki dan 4 perempuan. Dan kelompoknya adalah dia sendiri, Yessy, Bella, Maria, Fandi, Yoseph, Rafi, dan Ryan. Mereka disuruh melakukan penarikan uang infaq di kelas 12 dan memberikan uang infaq tersebut kepada orang yang membutuhkan. Lalu sebagai gukti, mereka harus merekam seluruh kegiatan yang mereka lakukan. “Wah, seru banget nih jadinya. Udah lama aku pengen kayak gini!” ungkap Nina. Lalu disambut anggukan kepala dari teman-teman yang lainnya. Ini bakal jadi kegiatan yang seru bagi Nina dan teman-temannya. Kelompoknya memutuskan untuk memberikan sumbangan tersebut kepada para gelandangan, pemulung, dan anak jalanan. “Kita membutuhkan banyak waktu untuk melakukan semua ini. Gimana kalau kita lakukan ketika sekolah usai?” usul Ryan. “Waduh,gimana ya? Masalahnya orang tuaku ketat banget, aku jarang dibolehin keluar rumah!” jawab Nina. “Yah, himana ya! Sebelum kita berangkat kita bantuin kamu ijin ke orang tuamu deh!” usul Fandi. “Bagus juga, tuh sekalian main-main. Aku kan pengen tau dimana rumahmu” kata Yessy. Akhirnya mereka sepakat untuk mengerjakannya ketika sekolah usai dan hari libur dengan ijin ke orang tuanya Nina dulu.
            Penggalangan dana ke kelas-kelas di atas mereka sangat sulit karena rata-rata mereka tidak mau menyumbang. Alsannya ada saja. Padahal sekolah mereka itu termasuk sekolah yang elite. Hanya orang yang merasa dirinya mampu membayar saja yangmenyekolahkan anaknya di sana. Namun ada saja alasan mereka untuk tidak mau membayar terutama yang laki-laki. Nina dkk akhirnya berusaha untuk menjelaskan dan dengan kerja keras mereka akhirnya penggalangan dana selesai dilakukan. Walaupun hasilnya tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan, namun mereka cukup puas dengan hasil kerja keras mereka “mengemis” ke kakak kelasnya. “Kapan kita kasih uang hasil penggalangan dana hari ini?” tanya Maria. “Aku juga bingung. Apa dimulai besok saja ya? Soalnya kan hari ini kita nggak bawa kamera” jawab Rafi. “Eh, Nina. Di rumahmu ada kamera nggak? Kalau ada kita pinjem buat kegiatan ini boleh, kan?” tanya Ryan. “Boleh kok, tapi maaf aku hari ini gak bisa ikut kalian buat ngasih hasil penggalangan dana tadi ke anak-anak jalanan soalnya hari ini di rumahku ada pengajian, dan aku harus bantu-bantu ibukubuat nyiapin makanan sama bersih-bersih rumah” jawabnya. “Yah, kalu gitu kita undur aja ya, pas kita semua bener-bener gak sibuk. Terus kapan kita melakukan penggalangan dana lagi?” kata si Fandi. “Dua hari sekali aja yah”. Akhirnya mereka semua setuju bahwa kegiatan memberikan sumbangan mereka lakukan pada saat mereka semua sedang tidak sibuk atau tidak memiliki kegiatan.
            “Ayah, ibu, aku boleh nggak besok pulang telat soalnya ada kegiatan sekolah” ijin Nina kepada kedua orang tuanya. “Memangnya ada kegiatan apa, nak? Kalau nggak penting lebih baik nggak usah saja ya, ayah takut kamu kenapa-kenapa” jawab ayah. “Yah, aku sama temen-temenku kok yah. Lagian menurutku kegiatan ini sungguh mulia karena kita mau memberikan hasil dari penggalangan dana yang kita lakukan ke orang-orang yang tidak mampu, mereka-mereka yang biasanya tinnggal di pingggir jalan, dan anak-anak jalanan. Boleh ya yah?” harap Nina. “Tapi teman-teman kamu baik semua kan? Ibu takut mereka memberikan dampak yang negative ke kamu, nak!” cemas ibunya yang sedari tadi mendengarkan. “Insya’Allah ibu, aku yakin mereka nggak akan sejahat itu kok bu. Tenang saja, bu besok teman-temanku akan datang ke rumah dahulu untuk meminta ijin ke ibu  sama ayah” jawab Nina. “Yasudah nak kalau begitu. Ayo kita sholat maghrib dulu lalu setelah itu kkamu bantu-bantu ibu ya nak!” pinta ibunya disusul dengan anggukan anak semata wayangnya.
            Hari ini sesuai dengan perjanjian mereka, mereka akan memberikan uang hasil penggalangan dana yang mereka lakukan kemarin. Dan sebelum mereka melakukan itu semua, mereka akan berkunjung dulu ke rumah Nina yang letaknya paling dekat dengan sekolahan diantara rumah mereka semua. Setelah sekolah usai, mereka berkunjung ke rumah Nina. Yang perempuan menaiki mobil Maria, sementara yang laki-laki menaiki mobil Fandi.
            “Assalamu’alaikum ibu, ayah!” salam Nina. “Wa’alaikum salam” jawab orang yang ada di dalam rumahnya. Ibunya pun keluar dari balik pintu rumahnya. “Siang, tante!” sapa teman-temannya. Mereka pun mencium tanagn ibunya Nina. “Ibu, ayah dimana?” tanya Nina. “Ayahmu tiba-tiba pergi tadi. Ada urusan penting katanya. Ayo, kamu perkenalin temanmu satu persatu”. Nina pun menyebutkan nama temannya satu persatu serta agama mereka masing-mmasing. “Oh, jadi kalian ini agamanya berbeda-beda, ya tapi masih bisa akur” puji ibu Nina. “hehehe! Iya tante, kita kan nggak pilih-pilih teman” jawab mereka kompak. “Yasudah, ayo masuk dulu. Panas kalau di luar. Kalian sudah makan?”. “Sudah tante”. Nina pun mempersilahkan teman-temannya masuk dan ijin ke mereka untuk sholat dhuhur terlebih dahulu. Lalu setelah mereka semua siap, mereka pamit ke ibu Nina dan berangkat.
            Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah pemukiman liar yang terletak di samping rel kereta api. Mereka dibagi menjadi 4 kelompok dan memisahkan diri untuk melakukan tugas masing-masing yaitu membagikan hasil penggalangan dana yang mereka lakukan. Tidak hanya berupa uang karensa setengah dari uang hasil penggalangan itu dibelikan sembako dan lain-lain. Pada saat itu Nina kebagian tugas bersama Fandi. Fandi yang mendokumentasikan kegiatan mereka berdua. Nina sempat menangis terharu ketika melihat seorang anak kecil yang hanya tinggal bersama neneknya yang sedang sakit-sakitan. Anak itu berusaha menghidupi dirinya berseta neneknya dan membelikan obat untuk neneknya. Dia menjadi pengamen di jalanan, kadang di lampu merah. Tidak banyak hasil yang dia dapatkan karena terkadang ada saja orang jahat yang selalu meminta uang hasil mengamennya. Dia sangat ingin bersekolah namun itu tidak akan mungkin karena kondisinya sekarang. “Dimana orang tuamu? Mana keluargamu?” tanya Nina berusaha untuk menahan air matanya yang terus keluar. “Ibu dan ayah sudah lama bercerai. Ayah ninggalin aku sama ibu dan nenek terus kita jadi gelandangan kayak sekarang. Ibu juga udah meninggal” jawab anak itu. Tatapannya ke Nina semakin membuat Nina tidak bisa menahan air matanya. Dia lalu keluar dari rumah yang terbuat dari kardus itu dan meninggalkan Fandi sendirian di dalam. Fandi yang bingung langsung ijin keluar sebentar untuk menghampiri Nina. “Sudah, Nin. Jangan nangis lagi. Aku tahu gimana perasaanmu. Aku juga sedih ndengernya. Tapi kita harus cepat-cepat melakukan aktivitas ini sebelum malam” hibur Fandi sambil memegang bahu Nina dan menyodorkan selembar tisu. “Makasih,Fan. Iya, aku bakal berhenti nangis. Aku pamit dulu ke anak itu dan neneknya ya. Kamu cari lokasi yang selanjutnya” jawab Nina dan beranjak masuk ke dalam rumah kumuh itu. Selang beberapa waktu Nina keluar dengan muka yang memerah dan air mata yang membasahi seluruh wajahnya. “ckckck! Dasar anak cengeng!” ujar Fandi dalam hati sambil tersenyum ke arah Nina. Kegiatan mereka selesai sebelum adzan maghrib berkumandang.
            “Nina, kamu nggak sholat? Habis ini maghrib lho!” kata Yessy. “Ayo, kita cari mushola saja di sekitar sini soalnya kalo sholat di rumahmu waktunya ntar nggak nyampek. Aku pengen sholat jamaah nih soalnya!” ajak Rafi yang sedari kemarin diam melulu. Rafi salah satu tipe cowok yang cuek, pendiam, dan agak tertutup walaupun sebenarnya dia salah satu anak keren di kelasnya. Beda sama Fandi dan Ryan yang peduli dan gampang bergaul. Mereka mencari mushola yang ada di sekitar sana dan menemukannya. Nina, Rafi, dan Ryan bergegas masuk dan mengambil air wudhu sementara yang lainnya duduk-duduk di telatar masjid sambil merekam kegiatan orang pinggiran ketika mau melaksanakan sholat maghrib. “Coba deh kalian lihat. Kenapa ya penampilan mereka berbeda dari yang sebelumnya? Terlihat lebih rapi dan bersih!” tanya Maria. “Mereka sama kayak kita. Ketika mau menghadap tuhan, mereka pasti berpenampilan yang sebaik mungkin, serapi mungkun karena akan menghadap kepada tuhan mereka. Intinya sama lah kayak kita-kita” jawab Yoseph. Setelah menunggu, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
            “Nina, kenapa kamu pulang setelah maghrib? Bukannya kamu janji ke ibu pulang sebelum maghrib?” tanya ibunya setelah membukakan pintu untuk Nina. Nina mencium tangan ibunya lalu berkata “Maafkan Nina, ibu. Nina tadi sholat dulu di mushola dekat tempat yang Nina kunjungi. Lagian kalau sholat di rumah takut waktunya gak cukup sama kecapekan. Ibu, Nina seneng banget hari ini”. Akhirnya Nina menceritakan kejadian yang terjadi seharian ini. “Yasudah, kalau gitu kamu istirahat sana. Besok kamu ada kegiatan? Kalau ada kamu cepet shalat isya’, makan, terus tidur biar siap besoknya”. “Ada bu tapi agak siang soalnya anak-anak pada ke gereja. Besok kita ntar ketemu di taman dekat sekolah” jawab Nina. Dia benar-benar tidak sabar untuk menjalani kegiatan yang akan dia lakukan keesokan harinya.
            Pagi ini, Nina akan berangkat ke taman di dekat sekolahnya. Sebenarnya dia ingin berangkat sendiri, namun ayahnya melarang dan berniat untuk mengantar Nina sekaligus bertemu dengan teman-teman Nina. Setelah bersiap-siap, Nina langsung menaiki mobil ayahnya dan melaju di tengah keramaian kota Surabaya di pagi itu. Sesampainya di sana, Nina langsung menghampiri teman-temannya sekaligus memperkenalkan mereka pada ayah Nina. Ayahnya sedikit kaget mengetahui mereka semua berbeda agama namun bisa bersahabat begitu dekat dan kompaknya. Namun Nina bersyukur karena ayahnya tidak melarang dia untuk bersahabat dengan teman-teman yang berbeda dengannya tersebut.
            “Hari ini kita akan mengunjungi anak-anak jalanan. So, hati-hati ya!” kata si Fandi mengagetkan mereka semua. “Maksud kamu apaan sih Fan? Jangan nakut-nakutin gitu, ah” potong si Maria. Maria itu tipe cewek yang manja, dan nggak pernah turun ke jalanan. Jadi, bukan nggak mungkin ya dia bakalan ngeluh sepanjang kegiatan yang mereka lakukan. Mereka memarkir mobil mereka di pinggir jalan lalu mengambil barang-barang yang mereka butuhkan. Mereka mulai berpencar dan mencari anak-anak jalanan yang sering mengamen di jalan tersebut, sementara beberapa dari kelompok Nina masuk ke sebuah pasar. Nina termasuk dalam kelompok yangturun di jalanan. Mereka berjalan menuju lampu merah di perempatan jalan tersebut. Nina mencari anak-anak yang mulai mengamen di jalan yang pas waktu lampu merah, dan Fandi sibuk dengan kameranya. Dia sibuk mengambil gambar. Satu persatu anak kecil mereka dekati sebelum lampu merah berganti menjadi lampu hijau. Mereka duduk di trotoar jalan dan sedikit ketakutan ketika didekati oleh Nina dan Fandi. “Tenang, dek. Kita nggak bakal nyakitin kalian kok!” bujuk Nina dan akhirnya mereka kembali duduk. Nina duduk di depan anak-anak jalana tersebut. Kalau di lihat-lihat mereka masih tergolong anak kecil, umrnya sekitar 6-9 tahunan lah. Pakaian mereka sungguh amat sangat kotor, dan badan mereka sepeti tidak terawat.
 “Kakak mau kasih sesuatu buat kalian” kata Nina mengawali pembicaraan. Nina memberikan 3 bungkus nasi ke mereka disesuaikan dengan jumlah anak yang ada saat itu. Mereka sedikit ragu untuk menerimanya. Fandi yang sedang merekam kegiatan mereka ikut angkat bicara “Ambil saja dek, kita ikhlas kok ngasihnya. Kita nggak bakal macem-macem ke kalian. Masa kakak yang ganteng dan cantik ini mau berbuat jahat ke kalian?”. Nina pun tertawa mendengarnya dan mencubit si Fandi sambil menganggukkan kepala ke anak-anak itu. “Dasar si Fandi. Membujuk sih oke, tapi nggak kayak gitu juga kali” batin si Nina. Akhirnya ketiga anak itu menerima makanan yang dikasih Nina dengan senang hati dan memakannya dengan lahap. “Dek kakak boleh tanya sesuatu?” tanya Nina dengan lembut. “Tanya aja kak” jawab salah satu dari mereka. Nina tanyakan satu-satu nama mereka dan melanjutkan pertanyaan. “Kalian punya keluarga? Ayah dan ibu? Saudara?”. “Aku udah lama di tinggal ayah sama ibu mati, kak” jawab anak yang paling kecil. “Ayahku nggk tau dimana, ibu masih ada” jawab anak laki-laki yang kira-kira umurnya paling tua diantara mereka. “Aku dibuang sama orang tuaku, kak! Huhuhu....” jawab anak yang terakhir sambil nangis sesenggukan. Nina nggak bisa menahan air matanya untuk tidak menetes. Tanpa rasa jijik atau apapun, Nina langsung memeluk ketiga anak itu. “Kasihan kalian, dek. Nggak seharusnya kalian tinggal di jalanan” kata Nina. Fandi langsung menepuk pundaknya dan memberi dia tisu untuk kedua kalinya. Nina langsung melepaskan pelukannya dan menerima tisu yang dikasih Fandi lalu menghapus air matanya. “Kalian udah lama ngamen di jalan?” tanya Fandi. “Iya,kak”. “Sekolah?”. “Nggak, kak. Nggak ada uang buat bayar sekolah. Tapi pengen banget, kak. Kapan ya bisa sekolah kayak temen-temen yang lain?” jawab salah satu anak itu sambil matanya menerawang. “Pasti bisa kok dek. Semangat yah. Kakak ada sejumlah uang untuk kamu. Bisa buat jajan sama beli makan” kata Fandi sambil meletakkan kameranya dan memberikan sejumlah uang ke anak-anak itu sama rata. Raut wajah yang semula sedih terlihat ceria tanpa beban. “Makasih kakak” jawab mereka kompak. “Kalian mau ngamen lagi? Kakak boleh ikut gak? Kan lumayan tuh buat nambah penghasilan” usul Fandi yang membuat Nina terkaget-kaget. Fandi memandangnya seakan-akan dia berkata “Gapapa kan Nin?”. Nina cuman bisa nurut aja. Sebenarnya dia takut karena ini jalan besar dan berbahaya.
            Tapi nggak di sangka-sangka semula dia memang takut mengikuti langkah Fandi dan anak-anak itu. Namun setelah melihat semangat mereka dan kebahagiaan yang terpancar di wajah mereka ketika Fandi ikut-ikut nyanyi di jalan, bener-bener membuatnya terharu dan memberanikan diri untuk ikut ngamen. Senang rasanya melihat mereka tertawa bahagia. Mungkin selama ini mereka nggak pernah merasa sebahagia ini. Menyanyi bersama, tertawa bersama, adalah suatu kenangan yang tak akan pernah dia lupakan. Tak lupa Fandi merekam kegiatan mereka.
            “Adek-adekku, kelihatannya kakak harus pergi soalnya udah sore. Besok-besok kalau ada waktu kakak pasti ke sini kok” pamit Nina ke anak-anak itu. “Janiji ya kakak ga bakal ngelupain kita?” kata seorang dari mereka. Nina jadi sedih mendengarnya. “Iya, pasti dek kita nggak bakalan ngelupain kamu. Sini kakak peluk” kata Fandi sambil meluk mereka bertiga, bergantian dengan Nina. Rasanya berat untuk meningalkan anak-anak yang luar biasa ini. Kecil-kecil sudah harus mencari makan sendiri, tinggal di luar yang nggak aman dan nggak bagus buat kesehatan mereka. Akhirnya dengan berat hati Fandi dan Nina pergi ke tempat mereka memarkirkan mobil dan pulang. Banyak hikmah yang bisa Nina ambil di hari ini dan hari yamng sebelumnya. Ada baiknya kita membatu mereka-mereka yang tidak mampu, berbagi kebahagiaan dengan mereka, toh mereka juga manusia sama seperti kita, malah lebih kuat daripada kita, sayang mereka kurang beruntung. Banyak alasan yang membuat mereka terpaksa hidup merana di jalanan, di rumah-rumah yang tidak layak pakai. Bersyukurlah karena kita diberi sesuatu yang sesungguhnya lebih dari cukup, namun tidak pernah ada rasa puas dalam diri kita dan selalu merasa kurang. Kebahagiaanmu, adalah kebahagiaanku. J

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar